Bagaimana Subsidi Kredit Mencegah Keuangan Mikro
Menjadi Berkelanjutan
Tahun 1960an, pandangan mengenai pembiayaan
pedesaan cenderung mencerminkan pergeseran dalam pemikiran ekonomi yang menjauh
dari model perencanaan dan mendekati ekonomi mikro. Penekanan dilakukan pada analisis politik ekonomi dan dan le,baga
dimana proses pembangunan tertuang dan atas mana hasil diandalkan. Subsidi
kredit saat ini diteliti dalam konteks yang cukup berbeda ini.
Pada tahun 1968 D.H. Penny (1983. Hal 58 dikutip
dari Penny 1968) menggunakan data beberapa desa Indonesia untuk menguji
hipotesa bahwa “kredit murah tidak mungkin mendorong pertumbuhan dengan
berguna” Ia mempelajari delapan desa di Sumatera Utara pada berbagai tingkat
pengembangan pertanian dan menyimpulkan bahwa persediaan-mendorong pembiayaan
program subsidi kredit adalah kurang efektif dalam mendorong pertumbuhan
pertanian dan mendatangkan kerugian. Penny (1983, hal. 65-66) beranggapan bahwa
”Kebanyakan petani tidak usah disuap dengan kredit murah untuk menganut inovasi
menguntungkan apabila ada pasar yang memuaskan untuk mendatangkan hasil
tambahan.”
Menjelang akhir tahun 1960an dan 1970an muncul pandanagan baru melalui karya Dale W Adams, F.J.A. Bouman, Gordon Donald, Claudio Gonzalez-Vega, Douglas H. Graham, David H. Penny, Robert C. Vogel, J.d. Von Pischke, dan lain-lain. Karena pandangan mereka mulai mempengaruhi studi program studi pedesaan di negara berkembang, bukti makin banyak bahwa subsidi kredit pedesaan adalah tidak efektif dan tidak efisien dan bahwa mereka tidak mempromosikan permodalan. Beberapa alasan untuk itu dibahas di bawah.
- Pada umumnya program subsidi skala besar tidak terjangkau rumah tangga berpenghasilan rendah. Karena Kendala modal, subsidi kredit dijatah secara efektif.
- Program subsidi kredit, terutama di lembaga milik pemerintah, sering kali mengandung tingkat bayar yang tinggi. Program subsidi kredit secara luas dikenal mengalami tingkat gagal bayar yang tinggi(World Bank 1984a). Kelemahan ini terutama semakin luas dalam program subsidi kredit pedesaan di banyak lembaga keuangan milik pemerintah. Ini sebagian Karena debitur cenderung adalah tokoh setempat yang berpengaruh(daripada orang miskin) dank arena pemberian kredit seringkali dilihat sebagai hak politik daripada transaksi bisnis, instrument kredit kurang mengutamakan penagihan dan biasanya tidak menyita agunan terjadi gagal bayar.
- Subsidi kredit, disalurkan ke elit lokal, untuk membeli dukungan politik bagi pemerintah – dan begitu ditawarkan sukar untuk dicabut. Perbedaan antara kredit sebagai masukan peranian(agriculturak input) dan kredit sebagai pembiayaan dipahami dengan baik oleh debitur di seluruh dunia – jika tak selalu oleh kreditur mereka. Satu contoh dari Zimbabwe menyediakan gambaran bagaimana program kredit mikro yang di politiasi, dimodali dan diatur langsung oleh pemerintah, dapat secara cepat gagal secara keuangan – meskipun bisa mencapai tujuan politisnya(Fidler 1996b). Pada tahun 1992 pemerintah Zimbabwe membentuk Social Development Fund yaitu dana kredit bergulir sebesar $14 juta bagi usaha kecil dan mikro. Kredir di berikan dengan subsidi suku bunga 10 persen per tahun(ketika inflasi dua kali lebih tinggi). Dana tersebut dimasukkan untuk menduduk miskin Zimbabwe yang aktid secara ekonomi. Namun demikian, kenyataannya kredit ini lebih berupa suap politik daripada instrumen keuangan dan masih ada beberapa contoh kasus lainnya.
- Debitur menangung biaya transaksi tinggi. Lembaga penyedia subsidi kredit biasanya membebani prosedur yang memakan waktu dan tidak praktis yang menyebabkan biaya trasportasi tinggi untuk debitur dan biaya kehilangan peluang dari waktu tunggu debitur. Disamping itu, karyawan lembaga yang menyediakan subsidi kredit di bawah harga pasar seringkali mengharuskan adanya uang suap dari calon debitur.
- Produk kredit tidak sesuai untuk kebutuhan debitur. Produk kredit dalam program subsidi kredit biasanya ditentukan secara ketat; tujuan, jumlah, dan jangka waktu kredit ditetapkan tanpa atau hanya sedikit mempertimbangkan kebutuhan debitur dan arus penghasilan.
- Waktu karyawan bank digunakan secara kurang produktif. Karyawan bank dalam program subsidi kredit biasanya menghabiskan waktu mereka secara kurang produktif. Misalnya, mereka mungkin gagal memantau tujuan penggunaan kredit – yang tidak dapat dipantaunya secara efektif karena kredit adalah fungiable.
- Subsidi kredit mencegah pengembangan lembaga keuangan secara berkelanjutan. Prorgam subsidi kredit skala besar menekan, dengan cara apapun, pengembangan intermediasi keuangan berkalanjutan di tingkat lokal. Rendahnya suku bunga program subsidi kredit mencegah mobilisasi simpanan, pemberian kredit mikro, atau keduanya. Sebaliknya, lembaga keuangan mikro yang berkelanjutan dengan jangkauan luas biasanya menawarkan kedua jenis pelayanan dan bertindak sebagai perantara keuangan.